MAU UKT TURUN? INI CARANYA!

MAU UKT TURUN? INI CARANYA!

Oleh alumni uin yang kecewa

Malam ini menjelang saya menutup mata setelah seharian melakukan webinar dan rapat online dengan beberapa stakeholder untuk menyukseskan kegiatan nasional yang saat ini sedang kami rintis, ada satu hal yang sangat mengganggu waktu tidur saya. Apalagi kalau bukan karena almamater saya dan mungkin juga kalian kembali berulah. Ya, UIN sunan kalijaga telah mengeluarkan SK UKT untuk jalur CBT gelombang ke 2, portofolio dan UM-PTKIN. Apa yang unik dari SK tersebut? Dari story whatsapp yang beredar dan setelah saya cek sendiri, ternyata sedikit sekali mahasiswa yang mendapatkan UKT golongan I-III terutama dari fakultas ekonomi dan bisnis islam, rata-rata mahasiswa baru mendapatkan golongan UKT IV,V ataupun VI tentu saja dengan nominal yang bisa dibilang tinggi yaitu diatas angka Rp4.000.000. Sebenarnya, saya pribadi sudah bersumpah untuk tidak akan mencampuri lagi urusan kampus yang sudah saya tinggalkan sejak bulan februari lalu. Toh saya sendiri bukan lagi menjadi warga uwin. Namun hati kecil saya memberontak setelah mendapatkan kabar banyak sekali orang tua mahasiswa baru yang mengeluh mendapatkan UKT terlampau tinggi.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja sejak tahun lalu, detik ini bahkan kita sedang mengalami PPKM dengan berbagai jenjang level. Dampak dari kebijakan pemerintah itu mengakibatkan sebagian besar masyarakat tidak mampu beraktivitas sebagaimana mestinya. Banyak unit usaha yang mandek dan tidak mampu bertahan ditengah kejamnya peraturan PPKM, bagaimana dengan karyawan? Sama saja, PPKM mengharuskan mereka untuk WFH. Masih untung tetap bisa bekerja walaupun mungkin akan ada pemotongan gaji, banyak juga diluar sana yang terpaksa harus ‘dirumahkan’. Orang tua mahasiswa saya yakin dengan seyakin yakinnya mereka juga terdampak pandemi, pendapatan berkurang bahkan lebih buruknya bisa jadi ada beberapa mahasiswa yang kini menyandang status baru sebagai yatim piatu. Siapa yang tau?

Ketika saya masih kuliah dulu, pernah saya dan beberapa kawan bertanya kepada salah satu pejabat fakultas, mengapa UKT FEBI bisa sebesar ini? Dengan entengnya beliau menjawab ‘itu sebanding dengan fasilitas yang fakultas ini berikan, lihat lah! Fakultas mana yang memiliki lift? Fakultas mana yang memiliki bangunan semegah ini? Bahkan rektorat pun kalah megahnya dengan kita, belum lagi fasilitas-fasilitas lain yang diterima oleh mahasiswa’. Dari percakapan itu, walapun banyak tidak setujunya namun saya masih bisa melihat setetes rasionalisasinya. Namun jika melihat kondisi saat ini apakah wajar jika UKT dengan nominal sebesar itu masih legal dan pantas untuk dibayar oleh mahasiswa baru padahal maba tahun 2020 saja sampai detik ini tidak pernah merasakan fasilitas superior tersebut? Pantaskah UKT Rp4.000.000 dibayarkan secara full dengan imbalan kelas online dan kuota tiap bulan yang sering kali macet?

Saya yakin tulisan ini pasti akan dibaca oleh sang pemangku kebijakan atau bisa jadi dibaca juga oleh orang-orang yang duduk ditataran fakultas dan universitas. Meraka pasti akan dengan mudah menjawab ‘halah mas, ilmu itu memang mahal, lagian pak rektor juga sudah berbaik hati memberikan diskon dan banding UKT, tinggal diajukan saja, jangan dipersulit’. Jika benar, mari kita sejenak tertawa. Pertanyaannya adalah syarat utama banding adalah mahasiswa baru harus membayar UKT terlebih dahulu dan melakukan regristrasi, bagaimana mereka mau banding jika membayar UKT pertama saja kewalahan? Dan setelah mereka banding UKT apakah banyak yang di acc? Silahkan tanya ke SEMA fakultas maupun Universitas, saya rasa mereka punya data lebih konkrit. Diskon UKT? Ah ya, pertemuan audiensi kemarin menghasilkan kesepakatan diskon UKT, saya jadi ingat dulu waktu masih kuliah dan kebetulan mengalami masa pandemi juga mahasiswa akhir mendapatkan potongan 50% UKT bagi mahasiswa yang hanya tinggal menyelesaikan skripsi saja, apakah potongan itu masih ada sekarang? Atau jangan-jangan banyaknya diskon UKT tahun lalu mengakibatkan defisit anggaran yang dampaknya ditanggung oleh maba tahun 2021? Astagfirullah maaf jika salah.

Ini bukan permasalahan saya pribadi, untuk apa menulis tulisan ini toh saya sudah tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini. Namun, ini merupakan permasalahan banyak orang. Ada banyak orang yang terpaksa tidak melanjutkan kuliah karena terlampau sakit hati dengan nominal yang ditetapkan oleh kampus rakyat. Di negara yang sakit ini, kita dipaksa untuk tetap sehat, dan dinegara yang semakin mahal pendidikannya ini orang tua akan terus berusaha memberikan jalan terbaik untuk anaknya. Kampus negeri seharusnya menjadi gerbang utama bagi siapapun yang ingin mengenyam bangku Pendidikan. Bukan malah mempersempit pintu hanya untuk orang-orang mampu saja!

Ada beberapa kawan saya yang saat ini menjabat di organisasi mahasiswa tingakat fakultas dan universitas. Mereka meluapkan kekecewaan dan sakit hatinya melihat uwin dengan semena-mena memberikan golongan UKT yang tinggi. Ada gaungan marah dimata mereka, ingin sekali aksi turun ke rektorat untuk menyuarakan aspirasi ini seperti beberapa tahun lalu, namun lagi dan lagi suara mereka terhenti karena pandemi yang belum selesai. Jika melanjutkan aksi maka mereka akan dianggap musuh masyarakat karena menggelar demo ditengah pandemi, tapi kalau tidak aksi mereka dianggap bungkam dan buta akan permasalahan yang ada. Sungguh, seperti memamakan buah simalakama. Namun saya punya usul, ada satu cara yang bisa dilakukan oleh kawan kawan ormawa. Sebentar lagi uwin akan melaksanakan salah satu kegiatan besar setiap tahunnya, yaitu pengenalan budaya akademik dan kemahasiswaan (PBAK). Bagi saya, PBAK merupakan kegiatan seremonial untuk menyambut mahasiswa baru yang biasanya akan dikoordinir oleh ormawa dilingkup fakultas dan universitas. Nah PBAK tahun ini ormawa tidak perlu turun. DEMA fakultas, DEMA universitas dan seluruh ormawa kompak melakukan boikot untuk PBAK. Jangan ada yang mau menjadi panitia ataupun menjadi voluntir, untuk apa? Toh perayaan PBAK tahun ini terpaksa dirayakan diatas penderitaan, penderitaan orang tua yang terpaksa berhutang, penderitaan orang tua yang terpaksa menjual asset, dan penderitaan mahasiswa yang ditinggal keluarga. Semua ormawa menyatakan sikap untuk tidak terlibat secara langsung di PBAK 2021 sampai adanya revisi sk UKT. Biarkan para dosen dan pejabat kampus terjun langsung menjadi panitia. Walapun sikap ini terlihat kecil, setidaknya memberikan kepastian bahwa ormawa berada dipihak yang mana. Toh selama ini ormawa tidak mempunyai niat terselubung dibalik PBAK kan? Eh bener kan? Jadi saya rasa tidak masalah pemboikotan ini dijalankan.

Tidak ada habisnya jika kita membicarakan permasalahan usang ini. Dari tahun ke tahun tidak akan selesai. Sekecil apapun aksi yang kalian lakukan untuk menolak kebijakan busuk ini menandakan kalian berada dipihak yang mana. Baiklah, sepertinya saya harus kembali berjanji untuk tidak lagi mencampuri urusan rumah tangga orang lain, ini tulisan terakhir. Selepas ini biarlah warga uwin yang menentukan mau dibawa kemana arah gerak #kalijagamenggugat. Eh masih ada kan #kalijagamenggugat? Atau tinggal instagramnya aja?